Korban selamat tenggelamnya kapal pesiar Costa Concordia geram jika mengingat proses evakuasi penumpang. Tak ada kebijakan memprioritaskan penyelamatan kaum wanita, anak-anak, ataupun ibu hamil. Bahkan awak dan kapten kapal meninggalkan penumpang lebih dulu.
Dalam saat-saat yang menakutkan setelah kapal raksasa mulai miring, pecahlah perkelahian untuk memperebutkan masuk ke sekoci. Kaum pria menolak untuk memprioritaskan wanita, ibu hamil, dan anak-anak. Mereka condong memaksakan diri mereka agar lebih dulu diselamatkan. Sementara awak kapal mengabaikan penumpang mereka dan meninggalkan 'koki dan pelayan' untuk membantu penyelamatan.
Dalam rekaman ponsel yang menyayat hati, terdengar teriakan anak-anak memanggil 'Ayah' dan 'Ibu' dalam perkelahian.
Seorang nenek Sandra Rogers (62) saat menunggu penerbangan pulang dari Roma, mengatakan kepada Daily Mail, "tidak ada kebijakan wanita dan anak-anak diutamakan. Di sana hanya ada pria-pria besar, kru kapal, yang memaksa dengan segala cara untuk masuk ke sekoci," katanya, Ahad (15/1).
Janda pensiunan itu itu berlayar dengan putrinya Karen,39, dan cucunya yang kembar berusia tujuh tahun, Emma dan Chloe. "Saya ingin semua orang tahu seberapa buruk prilaku beberapa orang. Itu adalah mimpi buruk. Saya kehilangan putri saya dan cucu saya dalam kekacauan".
"Aku berdiri di sekoci dengan laki-laki, pria besar, yang menabrak saya dan mendorong gadis-gadis. Itu mengerikan. Kurang terorganisasi. Tidak ada seorang pun yang memberitahu kemana orang-orang harus pergi".
"Dan ketika kami akhirnya masuk ke sebuah sekoci, pria dewasa, mencoba untuk melompat. Saya pikir, jika mereka sampai di sini kita akan terbalik".
Giuseppe D'Avino, seorang koki pastry dari Modena, juga menjelaskan adegan kekacauan. "Ada banyak kepanikan, jeritan, anak-anak menangis, "katanya. "Beberapa penumpang berebutan ketika mereka mencoba untuk masuk ke sekoci. "
Pengalaman serupa dirasakan pensiunan akuntan kapal Brian Page, 63, yang telah membayar 860 Poundsterling untuk pesiar selama tujuh hari. Dia sedang menikmati makan malam ketika bencana melanda. "Segera semuanya berceceran, gelas, piring dan peralatan makan," katanya. "Aku harus pegangan meja untuk menghentikannya meluncur. Seluruh kapal bergoyang-goyang keras dari sisi ke sisi.
"Orang-orang berteriak. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan prioritas," tambahnya. "Saya telah kehilangan segalanya, termasuk paspor saya. Saya hanya memiliki pakaian yang saya kenakan".
Penumpang lain mengatakan, mereka telah melihat kru dan kapten meninggalkan kapal, bukan tetap tinggal untuk membantu penumpang.
Wanita Prancis, Isabelle Mougin, 38, yang sedang hamil lima bulan, menangis saat ia menggambarkan pertempuran yang mendebarkan saat dia turun dari kapal tenggelam dengan suaminya. Mougin yang diwawancarai di rumah sakit menjelaskan, kapten menolak membiarkan mereka meninggalkan kapal, meskipun dia memohon agar mendapat prioritas karena kehamilannya.
"Kami terjebak. Dia (kapten) mengatakan kepada kita, kita tidak bisa turun. Saya pikir bayi saya akan mati. Saya pikir kami semua akan mati. Sang kapten hanya pergi, dia hanya meninggalkan perahu, meninggalkan kami di sana, aku tidak bisa percaya," ujarnya.
"Ada masalah besar saat proses evakuasi, tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi atau apa yang harus dilakukan. Banyak kru dan manajemen kapal berhasil lolos sebelum penumpang. Kami hanya harus melihat mereka diselamatkan dengan membiarkan kondisi apa yang akan terjadi pada kita. Saya sangat takut," katanya.
Lain halnya dengan wanita Prancis, Beatrice Micheaud, 58, dari La Rochelle. Ia diperintahkan untuk menyelamatkan diri dengan melompat ke dalam air meskipun hanya mengenakan gaun tipis.
Dia dan suaminya (61) berada di dalam air selama lebih dari satu jam. "Itu dingin, sangat dingin. Saya hanya mengenakan gaun malam. Kami berpegangan pada tepi liferaft dan terus mengangkat kepala dan berteriak untuk minta diselamatkan, tapi orang-orang di rakit tidak mendengar kami atau tidak mau mendengar kita. Kami kelelahan. "
Dia akhirnya diselamatkan oleh perahu tapi suaminya dikhawatirkan tenggelam setelah menderita serangan jantung yang disebabkan oleh syok dari air dingin.
Dalam saat-saat yang menakutkan setelah kapal raksasa mulai miring, pecahlah perkelahian untuk memperebutkan masuk ke sekoci. Kaum pria menolak untuk memprioritaskan wanita, ibu hamil, dan anak-anak. Mereka condong memaksakan diri mereka agar lebih dulu diselamatkan. Sementara awak kapal mengabaikan penumpang mereka dan meninggalkan 'koki dan pelayan' untuk membantu penyelamatan.
Dalam rekaman ponsel yang menyayat hati, terdengar teriakan anak-anak memanggil 'Ayah' dan 'Ibu' dalam perkelahian.
Seorang nenek Sandra Rogers (62) saat menunggu penerbangan pulang dari Roma, mengatakan kepada Daily Mail, "tidak ada kebijakan wanita dan anak-anak diutamakan. Di sana hanya ada pria-pria besar, kru kapal, yang memaksa dengan segala cara untuk masuk ke sekoci," katanya, Ahad (15/1).
Janda pensiunan itu itu berlayar dengan putrinya Karen,39, dan cucunya yang kembar berusia tujuh tahun, Emma dan Chloe. "Saya ingin semua orang tahu seberapa buruk prilaku beberapa orang. Itu adalah mimpi buruk. Saya kehilangan putri saya dan cucu saya dalam kekacauan".
"Aku berdiri di sekoci dengan laki-laki, pria besar, yang menabrak saya dan mendorong gadis-gadis. Itu mengerikan. Kurang terorganisasi. Tidak ada seorang pun yang memberitahu kemana orang-orang harus pergi".
"Dan ketika kami akhirnya masuk ke sebuah sekoci, pria dewasa, mencoba untuk melompat. Saya pikir, jika mereka sampai di sini kita akan terbalik".
Giuseppe D'Avino, seorang koki pastry dari Modena, juga menjelaskan adegan kekacauan. "Ada banyak kepanikan, jeritan, anak-anak menangis, "katanya. "Beberapa penumpang berebutan ketika mereka mencoba untuk masuk ke sekoci. "
Pengalaman serupa dirasakan pensiunan akuntan kapal Brian Page, 63, yang telah membayar 860 Poundsterling untuk pesiar selama tujuh hari. Dia sedang menikmati makan malam ketika bencana melanda. "Segera semuanya berceceran, gelas, piring dan peralatan makan," katanya. "Aku harus pegangan meja untuk menghentikannya meluncur. Seluruh kapal bergoyang-goyang keras dari sisi ke sisi.
"Orang-orang berteriak. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan prioritas," tambahnya. "Saya telah kehilangan segalanya, termasuk paspor saya. Saya hanya memiliki pakaian yang saya kenakan".
Penumpang lain mengatakan, mereka telah melihat kru dan kapten meninggalkan kapal, bukan tetap tinggal untuk membantu penumpang.
Wanita Prancis, Isabelle Mougin, 38, yang sedang hamil lima bulan, menangis saat ia menggambarkan pertempuran yang mendebarkan saat dia turun dari kapal tenggelam dengan suaminya. Mougin yang diwawancarai di rumah sakit menjelaskan, kapten menolak membiarkan mereka meninggalkan kapal, meskipun dia memohon agar mendapat prioritas karena kehamilannya.
"Kami terjebak. Dia (kapten) mengatakan kepada kita, kita tidak bisa turun. Saya pikir bayi saya akan mati. Saya pikir kami semua akan mati. Sang kapten hanya pergi, dia hanya meninggalkan perahu, meninggalkan kami di sana, aku tidak bisa percaya," ujarnya.
"Ada masalah besar saat proses evakuasi, tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi atau apa yang harus dilakukan. Banyak kru dan manajemen kapal berhasil lolos sebelum penumpang. Kami hanya harus melihat mereka diselamatkan dengan membiarkan kondisi apa yang akan terjadi pada kita. Saya sangat takut," katanya.
Lain halnya dengan wanita Prancis, Beatrice Micheaud, 58, dari La Rochelle. Ia diperintahkan untuk menyelamatkan diri dengan melompat ke dalam air meskipun hanya mengenakan gaun tipis.
Dia dan suaminya (61) berada di dalam air selama lebih dari satu jam. "Itu dingin, sangat dingin. Saya hanya mengenakan gaun malam. Kami berpegangan pada tepi liferaft dan terus mengangkat kepala dan berteriak untuk minta diselamatkan, tapi orang-orang di rakit tidak mendengar kami atau tidak mau mendengar kita. Kami kelelahan. "
Dia akhirnya diselamatkan oleh perahu tapi suaminya dikhawatirkan tenggelam setelah menderita serangan jantung yang disebabkan oleh syok dari air dingin.
0 comments:
Post a Comment