Zona Malam - Berita terkini di Kompas.com menyebutkan bahwa jumlah penderita sakit jiwa di DKI hinga Triwulan dua tahun 2011 telah mencapai angka 306.621 orang. Jika dibandingkan dengan kasus yang sama pada tahun 201o tercatat jumlah penderita sakit jiwa sebanyak 150.029 orang ini berarti terjadi pertumbuhan penderita sakit jiwa di DKI hingga 100%.
Jumlah penderita tersebut jika dibandingkan dengan total penduduk Jakarta (katakanlah) 10 juta jiwa, angka tersebut sangatlah minim, hanya 3% saja dari total populasi. Akan tetapi kita tidak dapat menganggap enteng persoalan tersebut karena selain jumlahnya yang semakin bertambah secara signifikan juga tumbuhnya penderita gangguan jiwa itu menjadi ancaman gangguan stabilitas dalam masyarakat yang berpotensi menjadi pemicu berbagai ketidak keharmonisan dalam masyarakat DKI pada khususnya.
Jika masyarakat DKI banyak mengalami gangguan jiwa juga dikhawatirkan alam kota Jakarta yang merupakan maskot ibukota negara RI sedikit tidaknya akan mengalami gangguan sosial dan memperlemah nilai-nilai kebersamaan dan silaturrahmi yang selama ini justru menjadi ikon atau ciri khas bangsa Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan penyakit jiwa dalam pemberitaan kompascom tidak disebutkan secara detail, namun untuk sekadar membantu saja berikut ini dapat dilihat pengertian penyakit jiwa yang dimaksud itu seperti apa kira-kira batasannya.
Sakit Jiwa tidak sama dengan penyakit jiwa.
Dari sisi pengetahuan umum, beberapa informasi dalam bahan tulisan yang ada, kita dapat mengenal “bagian terluar” tentang Sakit Jiwa itu dikenal dengan istilah Psikopat. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu dari dua suku kata, Psyche dan pathos. Psyche artinya artinya jiwa dan Phatos artinya penyakit. Sedangkan orang yang menderita sakit jiwa disebut dengan sosiopat, karena orang ini berpotensi berperilaku antisosial atau anti bersosialisasi dan juga besar kemungkinannya merugikan kerukunan dalam bersosial. Jadi secara harfiah Sakit Jiwa itu dikenal dengan istilah Psikopat.
Penyakit Jiwa, berkaitan gangguan mentalitas yang mengganggu otak sehingga memicu terjadinya gangguan emosi, gangguan cara berpikir, gangguan persepsi, gangguan konsentrasi dalam jangka panjang dan bermuara pada gangguan kejiwaan, misalnya stress, uring-uringan, negative thingking dan sebagainya. (Mohon diluruskan oleh rekan pembaca yang lebih berkompeten dari profesi medis jika hal ini kurang lengkap -red).
Jadi yang menjadi fokus dalam tema pembahasan kita kali ini adalah tentang Sakit Jiwa, bukan Penyakit Jiwa. Artinya kita membahas tentang fenomena semakin tingginya pertumbuhan Psikopat di DKI Jakarta. Kota yang yang menjadi benchmark berbagai hal se tanah air ini ternyata sudah banyak dijejali oleh para psikopat dan berpotensi membuat Jakarta semakin tidak nyaman karena alasan disebutkan di atas, yakni sikap utama para psikopat adalah antisosial.
Komunitas Psikopat.
Jika ada sebuah organisasi yang memayungi sebuah kegiatan sebuah persekutuan atau pagauyuban tertentu dengan nama lembaga tidak halnya dengan psikopat. Sebab jika para psikopat ini berkumpul yang terjadi di sana mirip suasana di DPR Senayan, tak ada yang merasa harus mendengar, yang ada hanyalah “Dengarkanlah Saya” atau “Akulah yang paling benar” atau bisa juga “Kalian tidak tahu apa-apa” bahkan ” Dasar kamu tahunya cuma protes” dan sebagainya. Jadi memang tidak ada lembaga paguyuban untuk psikopat di manapun di negeri ini.
Akan tetapi, jika kita mau sejenak meluangkan waktu, kita akan temukan ternyata psikopat atau penderita sakit jiwa alias psikopat itu berasal dari berbagai kalangan. Psikopat meyerang calonnya tanpa mengenal usia, jenis kelamin, tingkat sosial dan agama. Siapa saja yang mempunyai kesempatan menjadi korban penyakit ini maka ia akan menjadi psikopat. Dan yang paling mengerikan suervey membuktikan penyakit yang satu ini TIDAK akan bisa disembuhkan sekali dia menyerang.
Dengan demikian fenomena semakin tingginya pertumbuhan psikopat di Jakarta akan semakin mengkhawatirkan ketenangan kota Jakarta bukan? Tak heran kita temukan semakin banyak modus operandi penipuan, pembunuhan, penyelewenagan, penistaan, pelecehan dan anti tatakrama dan anti sosial lainnya yang tidak kita mengerti darimana idea negatif itu bisa muncul dan menjadi perilaku pada diri seseorang (Psikopat).
Ancama badai Psikopat akan melanda negara kita.
Mengapa perkiraan ini perlu menjadi warning dalam tulisan ini? Karena berdasarkan penjelasan dan data di atas jumlah psikopat itu semakin bertambah dengan pesat, selain itu ancaman gangguan stabilitas sosial dan terganggunya nilai-nilai moral dalam masyarakat menjadi terancam. Sementara itu di sisi lain, jumlah penderita SAKIT JIWA secara nasional telah terindikasi mencapai 11% dari total 251 juta orang populasi negara kita atau mencapai hampir 30 juta jiwa. Bayangkan jika sebuah negara berpenduduk 30 juta jiwa tapi semua penghuninya mengalami hal seperti ini, apa jadinya?
Dengan jumlah yang mencapai 11% penderita penyakit jiwa dan pertumbuhan yang signifikan dan sangat ekstrim di ibukota ditambah lagi dengan bukti demi bukti gangguan dalam bersosial semakin tinggi ini saja sudah merupakan ancaman besar.
Ironisnya di sisi lain, jumlah puskesmas di seluruh tanah air yang mencapai 9000 unit itu tidak seluruhnya memenuhi syarat. Bahkan puskesmas di beberapa daerah terpencil seperti di Kalbar tak ubahnya tempat penyimpanan sawit dan gersang, kumuh tak ada tanda-tanda kehidupan.
Di beberapa tempat, puskesmas itu ada yang hanya buka 2-3 hari saja dalam sebulan, selebihnya jadi gudang atau hiasan bangunan di kecamatan. Mencari dokter puskesmas apalagi tenaga ahli di puskesmas memang sangat mustahil. Jadi tak heran jika kita temukan pendirita penyakit jiwa semakin berang saat datang berkunjung yang ditemukan hanya pintu pagar puskesmas yang terkunci dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Selain itu, menurut data informasi BPS, di seluruh Indonesia terdapat 9000 puskesmas tapi puskesmas yang melayani jasa penyakit kejiwaan hanya ada 70 unit saja, umumnya di ibukota provinsi dan paling banyak di Jakarta saja. Ini juga menjadi persoalan serius karena penderita penyakit jiwa tidak saja ada di Jakarta dan konsumsi orang Jakarta melainkan juga sampai ke daerah-daerah. Kemana mereka akan mengadukan atau berkonsultasi tentang penyakitnya? Jika terlalu jauh tentu tidak akan sepadan dengan ‘kemampuan’ mereka yang di daerah.
Penutup
Kesimpulannya, pengumuman pemerintah yang memperlihatkan keprihatinan mendalam melihat pertumbuhan penderita penyakit jiwa kesannya hanya untuk sekadar dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 Oktober yang jatuh pada hari ini.
Upaya memberantas dan mengurangi penderita penyakit jiwa tidak terlalu serius dan tak perlu ambil pusing. Kesannya seolah-olah sudah “suratan takdir” dan “Nasib di badan” orang penderita penyakit jiwa menjadi psikopat. Atau bisa saja psikopat memang cara yang tepat untuk menjadi pejabat dan birokrat di negeri ini?
Lihat saja keseriusan pemerintah, dari 9000 puskesmas hanya 70 yang kompatibel dengan persoalan penyakit masyarakat ini. Bukan saja jumlah puskesmas yang mencapai ribuan itu tidak produktif dan tidak aktif, tapi juga perbandingannya sangat kecil dengan jumlah penderita sakit jiwa mencapai 30 juta orang di seluruh tanah air.
Dengan demikian kita jadi bertanya, hendak mau dibawa kemana negeri ini jika diisi (sengaja ataupun tidak) oleh para psikopat yang menderita sakit jiwa? Inikah yang kita lihat pada pentas politik dan pemerintahan nasional saat kita sering melihat banyak pejabat negara dengan model, tingkah dan polah berikut ini :
Semakin banyak pejabat dan birokrat dari berbagai lembaga negara yang terang-terangan tidak perlu merasa malu dalam korupsi, kriminal dan kurang ahli di bidangnya.
Semakin banyak pejabat dan birokrat dari berbagai lembaga negara yang terlibat berbagai skandal yang jelas-jelas membodohi masyarakat.
Semakin banyak pejabat dan birokrat dari berbagai lembaga negara yang tidak perduli tentang nasionalisme dan cinta tanah air. Mereka lebih mementingkan menambah kekayaan dan pundi-pundinya ketimbang berbicara soal nasionalisme.
Semakin banyak pejabat dan birokrat dari berbagai lembaga negara yang bermuka/wajah tembok meskipun kesalahan dan kebodohannya telah terungkap dan dipastikan salah.
Semakin banyak pejabat dan birokrat dari berbagai lembaga negara yang terlibat dalam jaringan kejahatan tapi mampu menutupi kejahatannya berkat kerjasama yang apik satu dengan lainnya. Misalnya, tiba-tiba saja koruptor bisa LUPA INGATAN..!
Berdasarkan kondisi di atas, wajar soal penyakit jiwa ini menjadi sorotan dunia Internasional untuk dijadikan agenda pemberantasan di seluruh dunia dengan mencanangkannya sebagai “Hari Kesehatan Jiwa Se Dunia.” Tujuannya untuk mengeliminir ancama gangguan yang meresahkan bagi masyarakat beradab yang mendambakan ketenangan, keterbukaan, cinta kasih, profesionalisme, kejujuaran dan perduli terhadap peningkatan kualitas bangsa masing-masing.
0 comments:
Post a Comment